Tuesday, June 24, 2008

Cerita unik dalam Pendidikan

Jangan Malu ‘Meniru’ Murid

Rabu, 11 Juni 2008 07:10:59 - oleh : redaksi

OLEH:DRAARISUSWATI*)
Pada dasarnya, pendidikan akhirnya merupakan seni “meniru”. Proses meniru ini akan berlanjut setaraf dengan perkembangan intelektual dan usia anak. Saat masuk sekolah, media meniru ini menjadi ganda; orangtua disatu pihak dan guru pada pihak lain. Pada masa seperti ini, anak bukan semata memamah begitu saja apa yang dikatakan orangtua dan guru. Seorang anak harus mampu mengembangkan inisiatif dirinya sendiri.
Caranya, seorang anak harus berani melakukan penyimpangan dari apa yang ditiru. Tanpa penyimpangan, anak hanya akan menerima apa saja yang dilihat, didengar, dan dirasakan. Penyimpangan hanya mungkin terjadi bila terdapat rangsangan yang baik, dari dalam maupun dari luar. Dari segi pendidikan, rangsangan yang baik berasal dari keluarga sebagai kelompok kecil dan paling dekat dengan anak, atau dari gurunya.
Keserasian antara kedua kutub pendidikan itu sangat diperlukan. Tujuan utama dari pendidikan itu adalah social learning atau biasa juga disebut cultural learning. Tujuan ini akan tercapai bila sudah ditanamkan di dalan unit keluarga. Sekolah dan guru hanya suplemen dari tugas keluarga. Proses belajar dalam social learning banyak berlangsung dengan jalan imitasi dan identifikasi.
Agar proses ini berlangsung baik diperlukan suasana dengn kualitas emosional tinggi. Setiap pujian, anjuran, nasihat dan ajakan orangtua dan guru akan diterima anak dengan jiwa lapang dan ikhlas. Banyak orangtua dan guru yang merasa telah mendidik anaknya dengan baik, tetapi tersentak kaget sebab anaknya bersikap aneh dan tidak bersikap baik dengan lingkunganya. Ada juga orangtua yang merasa berhak atas segala kehidupan anak.
Dipihak guru, ada guru yang memandang kebodohan murid di sekolah akibat kesalahan-kesalahan orangtua dalam mendidik anaknya di rumah, tanpa mau meneliti dahulu apakah cara mengajarnya selama ini sudah benar dan dapat dimengerti murid. Ada juga guru yang menganggap murid sebagai bawahan yang harus mamatuhi apa saja yang dikatakan tanpa punya hak untuk menolak atau merasa keberatan.
Bagaimana mungkin anak menjadi seorang yang penuh inisiatif, punya keyakinan yang besar atas kemampuan diri, berkeinginan untuk maju, punya harga diri, bermoral tinggi, dan mampu bekerja keras, padahal mereka tidak memeroleh contoh yang baik dari sekolah? Tidak mendapat gambaran gambaran terbaik dari keluarga?. Pendidikan sebagai social learning tidak mencapai sasarannya, sebab proses seni meniru yang merupakan bagian dari proses pendidikan itu tidak diperoleh anak. Anak kehilangan tokoh identifikasi dari lingkungan yang paling dekat.
Apakah suasana seperti itu sudah terasa di dalam dunia pendidikan kita sekarang? Jikapun sudah, mungkin hasil dalam proses yang sangat awal sekali sehingga belum terasa hasilnya. Banyak pengalaman membawa kita kepada kesimpulan betapa masih banyak yang harus dibenahi, terutama dalam hal mengakrabkan murid dengan guru. Akrab disini berarti juga murid bisa menerima apa yang dikatakan gurunya tanpa rasa tertekan.
Dengan demikian tidak selamanya murid harus meniru semua yang didengar, dilihat dan dirasakan dari guru. Kadangkala murid kita malah bersikap lebih baik, benar dan juga perlu ditiru. Mengapa kita harus malu mengakui kebaikan, kebenaran, dan kejujuran murid, dan sungkan menirunya?. Sekarang bagaimana kalau ternyata ada seorang murid yang terbentuk dari proses didikan orangtua yang baik, mempengaruhi pikiran kita sebagai guru. Pada kenyataannya guru harus memberi semangat, pujian, dan menerima sarannya dengan hati lapang dan ikhlas juga.
Sebagai ilustrasi kejadian yang benar-benar nyata dikelas, penulis sebagai guru anak yang berkebutuhan khusus harus menerima kenyataan dan meniru murid tanpa rasa malu, selama murid bernilai positif. Ada empat murid dikelas, yang dikategorikan tunagrahita sedang. Ada dua murid yang sering “menggurui”. Dengan pembicaraan yang sangat polos seorang murid yang bernama Syaikhu sering mengatakan (dalam bahasa Jawa); Mangka’no sering ae lho ngrungokno lagu-lagu nyanyian sing nang kaset VCD, engkok sampean lak apal, ambek pinter nyanyi koyok aku”.
Memang dia hampir hafal semua lagu dari artis penyanyi, group band yang ada di Indonesia. Kadang juga dia memberi saran, ”Lak sampean pingin cepet isok, delok’en tah lak ana wong kerja iku, delok’en terus, ambek ditakoni terus, tiruen kerjane, suwe-suwe sampean lak pinter, aku lho ngono, gak percaya tah”. Memang dia termasuk anak yang cepat tanggap dengan pekerjaan apapaun yang ada di kelas.
Selain Syaikhu, juga ada murid yang bernama Ulum, yang sering memberi kotbah. Juga dalam bahasa Jawa, “Lak pingin disayang Allah. Sampean seringo telepon nang Allah, maaf-maaf yo”. Dengan seringnya penulis diceramai murid seperti itu, akhirnya penulis meniru apa yang sudah disarankan mereka. Mereka merasa senang karena nasehatnya sudah dituruti.
Contoh seperti ini, ataupun contoh prilaku, bakat, dan potensi yang lain, mudah-mudahan juga bisa diterapkan oleh seorang guru yang mengajar murid yang berkebutuhan khusus, dan murid lainnya. Inilah yang menjadi salah satu cara menghargai hak anak untuk berpendapat, mengoptimalkan kemampuan yang dimilikinya, mengasuh aspek perkembangan sosial emosional, meningkatkan rasa percaya dirinya, berkomunikasi dan meningkatkan dialog dalam kelas.
Menyongsong Hari Anak Nasional ini, sebagai guru yang baik, meresponsif terhadap kebutuhan sosial emosional setiap murid. Tidak malu meniru murid, selama murid bernilai positif, agar guru dapat intropeksi diri, dan meningkatkan kualitas dalam penyampaian proses pembelajaran.(Minggu Pendidikan Pertama Koran Pendidikan)

No comments: